Bandar Lampung, 14 Februari 2025 — Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc., (Dosen Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Lampung sekaligus Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung) menyampaikan Presidential Lecture bertajuk “Produktivitas, Keberlanjutan, dan Kesejahteraan Petani” dalam rangkaian Gala Dinner Kongres XIX dan Konfernas XX PERHEPI yang berlangsung di Hotel Emersia, Bandar Lampung, pada 13–15 Februari 2025.
Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung itu menegaskan bahwa sektor pertanian Indonesia tengah menghadapi tiga tantangan besar: stagnasi produktivitas, masalah keberlanjutan, dan ketimpangan kesejahteraan petani.
Acara pembukaan kongres dilakukan secara resmi oleh Penjabat (PJ) Gubernur Lampung, Dr. Drs. Samsudin, S.H., M.H., M.Pd., dan diselenggarakan oleh Komisariat PERHEPI Lampung selaku tuan rumah, dengan Dr. Teguh Endaryanto, S.P., M.Si. dari Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Lampung sebagai Ketua Pelaksana.
Kongres ini dihadiri oleh ratusan peserta yang terdiri dari akademisi, peneliti, praktisi, dan pembuat kebijakan dari seluruh Indonesia untuk membahas arah kebijakan ekonomi pertanian nasional di tengah tantangan global dan domestik yang semakin kompleks.
Tantangan Produktivitas: Inovasi Teknologi Jadi Kunci
Dalam paparannya, Prof. Bustanul membeberkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian pada 2024 hanya mencapai 0,67%, jauh tertinggal dibanding pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,03%. Bahkan, subsektor tanaman pangan mengalami kontraksi -0,21%, mengindikasikan perlunya evaluasi serius terhadap efektivitas berbagai program produksi pangan.
Kinerja sektor pertanian masih terlalu bertumpu pada perluasan areal tanam dan bukannya peningkatan produktivitas berbasis inovasi teknologi, ujarnya. Ia menambahkan bahwa stagnasi produktivitas ini telah terjadi selama lebih dari dua dekade dan menjadi penghambat utama dalam peningkatan kesejahteraan petani.
Ia juga mencatat bahwa pada 2024, produksi gabah kering giling (GKG) turun menjadi 52,71 juta ton, atau turun 2,35% dari tahun sebelumnya. Hal ini berdampak langsung pada penurunan produksi beras sebesar 730 ribu ton, yang berbanding terbalik dengan tren konsumsi yang terus meningkat.
Keberlanjutan Pertanian: Perubahan Iklim dan Gas Rumah Kaca
Lebih lanjut, Prof. Bustanul juga mengangkat isu keberlanjutan sebagai tantangan utama kedua sektor pertanian. Ia menyoroti fenomena El-Nino 2023 yang mengakibatkan penurunan produksi beras hingga 800 ribu ton dan lonjakan harga beras mencapai Rp15.000/kg.
Menurutnya, sektor pertanian masih menjadi penyumbang besar gas rumah kaca (GRK) melalui praktik pertanian konvensional seperti sistem genangan pada sawah, penggunaan pupuk kimia berlebih, dan pembakaran jerami. Untuk itu, ia mendorong adopsi kebijakan pertanian regeneratif, teknologi hemat air, serta penggunaan pupuk organik dan hayati sebagai solusi ramah lingkungan.
Kesejahteraan Petani: Perlu Reformasi Kelembagaan dan Dukungan Nyata
Tantangan ketiga yang disampaikan adalah kesenjangan kesejahteraan petani, yang tidak sebanding dengan kontribusinya dalam ketahanan pangan nasional. Ia menegaskan pentingnya reformasi kelembagaan penyuluhan dan riset pertanian agar lebih terintegrasi dan responsif terhadap kebutuhan petani di lapangan.
Selain itu, Prof. Bustanul juga menekankan urgensi regulasi tata kelola lahan dan penerapan praktik agroforestri dan reforestasi sebagai bagian dari upaya menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.
Gala Dinner dan Presidential Lecture ini menjadi sorotan penting dalam rangkaian Kongres XIX & Konfernas XX PERHEPI, sebagai momen refleksi dan penajaman arah kebijakan sektor pertanian Indonesia ke depan.
