
Dosen Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Agribisnis FP Unila) Ibu Dr. Novi Rosanti, S P., M E P., Ibu Lina Marlina, S.P., M.Si., dan Ibu Yuliana Saleh, S.P., M.Si., mengisi siaran menjadi narasumber Faperta Berkarya dengan topik “ Mampukah Agribisnis Kopi Membuat Petani Sejahtera?”, bertempat di Laboratorium Lapang Terpadu FP Unila, Kamis (19/8/2021).
Kopi adalah komoditas perkebunan yang keberadaannya semakin dilirik oleh pasar dunia. Kondisi ini seiring dengan meningkatnya konsumsi masyarakat kopi di dunia. ICO (International Coffee Organization) (2020) mencatat pertumbuhan konsumsi kopi dunia tahun 2016/2017 sampai 2019/2020 sebesar 2,2%, dengan jumlah konsumsi tahun 2016/2017 sebesar 158,125 juta bags (1 bags = 60 kg) dan meningkat tahun 2019/2020 sebesar 165,053 juta bags.
Saat ini, Indonesia menduduki peringkat ke 4 sebagai negara pengekspor kopi terbesar di dunia setelah negara Brazil, Vietnam dan Colombia (ICO, 2019). Komoditas kopi di Indonesia menjadi salah satu komoditas yang memiliki peluang untuk terus dikembangkan sebagai produk ekspor andalan. Sebagian besar kopi Indonesia merupakan jenis robusta.
Umumnya perkebunan kopi dikelola oleh perkebunan rakyat. Biasanya pengelolaan perkebunan rakyat ini masih bersifat sederhana dan budidaya yang dilakukan bersifat turun temurun, sehingga penerapan teknologi baru dan pemeliharaan kurang intensif. Tantangan keberhasilan agribisnis kopi membutuhkan dukungan dari semua pihak terkait dalam proses produksi kopi mulai dari penyediaan benih unggul, budidaya, pengolahan, pemasaran komoditas kopi, peran lembaga penunjang dan kebijakan. Pengembangan industri kopi dimulai dari peningkatan produksi yang diikuti dengan peningkatan produktivitas kopi dengan perbaikan faktor produksi petani (peningkatan ketrampilan dan pengetahuan), input (ketersediaan pupuk, bibit unggul), dan modal (ketersediaan modal).
Petani sebagai salah satu faktor produksi yang akan menentukan keberhasilan agribinis kopi. Saat ini, penerapan inovasi oleh petani kopi belum banyak dilakukan, terutama dalam pengelolaan budidaya kopi yang sesuai dengan teknik budidaya yang baik (Good Agriculture Practice/GAP). Kondisi ini berdampak terhadap lambatnya proses alih ilmu pengetahuan dan teknologi dari ahli kopi, lembaga penelitian, penyuluh kepada petani. Difusi inovasi untuk produksi kopi perlu dilakukan terutama untuk penggunaan varietas bibit unggul yang rentan terhadap serangan penyakit, mekanisasi saat pemanenan (pada saat panen raya) membutuhkan tenaga kerja luar kerja yang biasa dilakukan dengan tangan. Untuk menjawab tantangan perlu dilakukan penyuluhan yang intensif dan berkelanjutan untuk mengubah mindset petani, bahkan jika diperlukan dibuat kebijakan demplot percontohan yang menunjukkan bagaimana inovasi mampu memperbaiki hasil produksi kopi.
Menurut Bravo-Monroy, Potts, dan Tzanopoulos (2016), faktor yang mendorong adopsi manajemen pengelolaan kopi yang baik yakni keterlibatan dalam organisasi, ketersediaan teknologi, pendidikan formal, kepemilikan lahan, luas lahan, produktivitas kopi, biaya produksi, keuntungan dan pendapatan yang diperoleh petani dari kopi dan pendapatan dari luar kopi, serta kebijakan pemerintah.
Aspek input produksi yang mencakup pupuk, bibit unggul dan permodalan perlu dipertimbangkan untuk mengembangkan komoditas kopi . Petani kopi rakyat secara umum mengalami masalah dalam permodalan, akses untuk mendapatkan input pupuk dan persoalan pemasaran (berkaitan dengan mutu biji kopi yang dihasilkan, jaringan untuk mencari target pasar). Hasil penelitian Listyati, Sudjarmoko, dan Hasibuan (2013) menunjukan bahwa petani kopi robusta di Lampung banyak yang menggunakan bahan tanam dari pohon yang berbuah lebat. Hal ini menyebabkan produktivitas tanaman kopi menjadi rendah. Persepsi petani dan ketersediaan bibit menjadi salah satu faktor yang bisa mendorong petani mau mengadopsi benih unggul tersebut.
Petani yang memiliki modal cukup cenderung melakukan pengelolaan kopi secara intesif, namun petani yang kekurangan modal cenderung mengelola secara tradisional. Menurut Nalurita et al (2014), permodalan untuk perkebunan kopi masih belum memadai, hal ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya, kepemilikan lahan yang belum disertifikasi, belum adanya kredit anggunan ringan dari pemerintah, serta produksi kopi yang sifatnya masih tergantung pada alam. Pemberian kredit bunga bersubsidi oleh lembaga keuangan kepada petani bisa digunakan untuk membantu ketersediaan modal bagi petani untuk menunjang input produksi, sehingga hasil produksi kopi petani dapat meningkat.
